Sabtu, 14 Agustus 2010

DIALOG 2 SISI

Dialog 2 sisi

Disebuah kamar kecil berdinding biru coklat muda. Seorag anak yang tengah menanti waktu tidurnya dengan penuh keresahan, matanya tak dapat terpejam karna hatinya tengah berguncang. Sang ayah yang baru saja mampir ke kamar anak satu-satunya tersebut terheran melihat anaknya yang belum juga menyambut mimpi dan terpejamkan hasrat matanya untuk melihat dunia hari ini.

DIALOG DUA SISI INI DIMULAI

Iapun bertnya pada anaknya
Ayah: ada apa nak? Pertanyaan apalagi yang mengaggu mimpimu?
Anak: ayah, bolehkah aku menanyakan tentang dunia?
Ayah: Mengapa kau tanyakan dunia nak? Saat senggang malam kita!
Anak: Entahlah yah! Tapi aku sendiri tidak bisa lagi menayakan hal lain.
Ayah: Sebenarnya apa yang membuatmu bertanya! bolehkah ayah tau?
Anak: em… sebenarnya, aku ingin bertanya karena ketergantunganku padamu. Ketidak pengertianku dan pengalamanmu yang sesekali kau ceritakan sebagai dongeng tidur, di malam-malam kita.
Ayah: maksudmu?

Anak: ya... maksudku tentang susuku yang mulai hambar dan tawar, juga sekolahku yang tidak menentu atau kawanku yang hingar penuh tawa tentang kenalannya.
Ayah: hemp... nak, tidakkah kau ingin ayahmu ini dapat menjawab pertanyaanmu yang berpinak tiap ku tolak untuk menjawab, atau sekedar kutunda dengan kata-kata jenaka dan tawa.
Anak: ya ayah... aku mengerti itu, bukankah esok kau libur? Jadi sekarang kuharap waktu memihakku!
Ayah: Nak, orang dewasa biasanya akan menjawab seperti ini; ”seiring perjalanan waktu kau akan mengerti, ketika usiamu bertambah kelak”. Tapi aku ingin kau tau bahwa orang yang ada di sampingmu ini bukan seperti itu!
Sekarang tanyakanlah soal yang selalau menggangu itu!
Anak: yah, mengapa dunia tiada mempercayaikudan justru berkilah atau malah keras kepala, ketika aku tidak dapat mengerti akan sesuatu?
Ayah: nak, apa ayah pernah mengecewakanmu?
Anak: maksud ayah?
Ayah: jawab saja, nanti ayah jelaskan lebih rinci?
Anak: ya... sering sekali, dan berulang-ulang. Namun aku mengerti, mungkin terlalu banyak beban yang harus kau pindahkan terlebih dahulu dari pundakmu ini. Bukankah begitu? Dan juga mungkin teman-teman ayah yang sering bertamu itu terlalu banyak menuntutmu, dan aku tau, kau bukan orang yang bisa menolak permintaan orang lain dengan mudah, tanpa alasan yang kuat. Walaupun terkadang aku menyesali itu!
Ayah: hemp... (senyum dan saling tatap)
Itulah nak, mengapa dunia terlalu sempit bagiku dan begitu luas bagimu.

Anak: aku suka kata-kata itu yah, lanjutkanlah.
Ayah: (diam sejenak)
Anak: janganlah kau pikirkan terlalu dalam ayah, waktu mulai memanggil kita pada titik dan koma. Janganlah seperti guru sekolahku yang mencari kata-kata. Itu membuatmu jauh dari orisinilitas akan ide dan ilham. Biarlah itu berlaku bagi orang dewasa. Bukankah aku anakmu? Maka anggaplah aku adalah bagian lain dari dirimu yang kini hadir dan telah lahir.
Ayah: ma’afkan ayah... orang-orang seperti ayahmu ini selalu melihat seesuatu dengan matriks, kausalitas dan perbandingan. Kami membagi diri kamu menjadi tipe-tipe tertentu berdasarkan sebuah perbandingan tertentu. Lalu kami menyebutnya kepribadian.
Anak: itu lucu ayah... lanjutkanlah, aku akan mendengarkanmu sebagai dirimu.
Ayah: kami mengamati sesuatu hal yang menurut kami memiliki peran dalam hidup atau kehidupan, setelah itu berkesimpulan. Menjadikannya sesuatu yang umum atau khusus dengan dasar objectifitas. Atau aku dan kamu mengenalnya dengan nama besar dan agung sebagai ”TEORI”.
Ayah yakin banyak gurumu yang menyembahnya sebagai tuhan kedua!
Anak: dan mereka yang ke-tiga, he...he...he... tuhan ketiga yang mengenal dan mengetahui dunia! Bukan begitu yah?

Ayah: tidak semua sayang...
Anak: nampaknya aku mulai menjadi orang-orang sepertimu yah...
Ayah: aku harap tidak... sekarang dengarkanlah... kalian, terutama kau anakku... dengan sangat mudah dapat memahami kami dan tidak jarang mengalah demi kepentingan kami. Orang dewasa.
Anak: sepertinya begitu...
Ayah: yah... ayah sendiri menyesali hal itu. Demi kami, kalian harus membanting benda-benda di sekitar kalian, atau terkadang membuat dunia menutup telinga dengan suara yang meluap hingga angkasa. Berusaha membuat kami mengerti akan sesuatu yang kalian fahami, tetapi kami terlalu picik untuk menanggapi.
Nah, dengan segala unsur tersebut (kepribadian, teori, dan keterbatasan emosi) di tambah dengan faktor-faktor yang di tangkap indra yang ada. Kami lupa bahwa, kami pernah berada pada posisi dimana kini kalian berpijak. Itulah yang seringkali membuat kami tidak percaya padamu dan teman-temanmu. Kami terlalu logis dan realistik. Bahkan cenderung pragmatis dengan segala dogma yang kami sebar sendiri di ladang yang bertuliskan otak dan hati pada buku biologi dan agama.
Bukannya dinamis, kami orang tua malah statis pada konsep yang berputar pada sebuah poros. Agar tetap terlihat logis dan realistis, seperti yang ayah bilang tadi.
Anak: lalu... Setelah ayah mengakuinya sendiri, apa ayah akan berubah?

BERSAMBUNG....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar